Showing posts with label Biokimia. Show all posts
Showing posts with label Biokimia. Show all posts

Sunday, November 10, 2024

Struktur Tiga Dimensi DNA, Khususnya Terkait Bentuk B (B-form) dan Bentuk Z (Z-form)

Judul Jurnal: The Three-Dimensional Structure of DNA

Penulis: Steven B. Zimmerman
Tahun Terbit: 1982
Nama Jurnal: Annual Review of Biochemistry

Ringkasan

Jurnal "The Three-Dimensional Structure of DNA" karya Steven B. Zimmerman dari Annual Review of Biochemistry tahun 1982, memberikan tinjauan komprehensif mengenai perkembangan pengetahuan tentang struktur tiga dimensi DNA, khususnya terkait dua konformasi utamanya: bentuk B (B-form) dan bentuk Z (Z-form). Zimmerman membahas bagaimana penemuan-penemuan baru telah membuka pemahaman yang lebih mendalam tentang variasi struktur DNA, serta implikasinya terhadap fungsi biologis dan interaksi molekul. Ulasan ini juga mencakup konformasi lain dari DNA seperti bentuk A, C, dan D, serta bentuk hibrid DNA-RNA, yang membantu menguraikan kompleksitas dinamika struktural DNA.

Artikel ini diawali dengan penjelasan tentang pentingnya memahami struktur DNA, terutama dengan munculnya model Z-form yang lebih baru, yang berbeda secara radikal dengan model DNA bentuk B Watson-Crick yang sudah mapan. Bentuk B dan Z menjadi fokus utama karena perbedaan struktur dasar dan dampaknya pada fungsi biologis DNA. Bentuk B adalah struktur heliks ganda kanan yang lebih stabil dan sering ditemukan dalam kondisi fisiologis normal, sedangkan bentuk Z adalah heliks kiri yang langka dan biasanya terbentuk di bawah kondisi lingkungan tertentu, seperti konsentrasi garam tinggi atau keberadaan agen kimia tertentu. Kedua bentuk ini memiliki peran unik dalam konteks biologis, terutama dalam proses interaksi DNA-protein.

Zimmerman merinci bagaimana studi awal menggunakan teknik difraksi sinar-X membantu membangun model heliks ganda DNA, yang mengarah pada bentuk B DNA. Model ini didasarkan pada heliks ganda kanan dengan pasangan basa yang terhubung secara komplementer dan antiparalel. Model Watson-Crick untuk bentuk B menjadi dasar bagi pemahaman modern tentang replikasi DNA, transkripsi, dan penyimpanan informasi genetik. Menurut Zimmerman, meskipun bentuk B merupakan struktur yang stabil, variasi lingkungan dapat menginduksi perubahan bentuk, yang berdampak pada bagaimana DNA berinteraksi dengan protein dan molekul lainnya.

Zimmerman kemudian menjelaskan bentuk Z DNA yang lebih kompleks dan jarang, yang memiliki struktur heliks kiri dengan pola zig-zag pada tulang punggung gula-fosfatnya. Struktur ini pertama kali teridentifikasi melalui kristalografi sinar-X pada oligonukleotida, yang menunjukkan susunan molekul yang berbeda dari bentuk B. Penelitian ini menemukan bahwa bentuk Z cenderung muncul pada urutan basa tertentu, terutama dalam segmen purin dan pirimidin yang bergantian, seperti urutan guanin-sitosin. Menariknya, Z-form menunjukkan stabilitas yang unik dalam lingkungan ion tinggi atau dengan keberadaan zat kimia seperti alkohol, yang menunjukkan fleksibilitas DNA dalam merespon kondisi lingkungannya.

Studi Zimmerman juga membahas bentuk A DNA, yang merupakan varian lain dari heliks ganda kanan, namun lebih kompak dibandingkan bentuk B. Bentuk A biasanya ditemukan dalam kondisi dehidrasi atau dalam interaksi DNA-RNA, yang memiliki peran dalam mekanisme biologis tertentu, seperti transkripsi dan replikasi. Bentuk A, bersama dengan bentuk C dan D yang lebih jarang, menyoroti fleksibilitas konformasi DNA yang dapat berubah tergantung pada kondisi lingkungannya. Dalam artikelnya, Zimmerman menguraikan bagaimana perbedaan dalam bentuk heliks dan kemiringan pasangan basa dalam struktur ini berkontribusi pada keragaman fungsi DNA.

Zimmerman melanjutkan dengan diskusi tentang "heterogenitas struktural" DNA, yaitu variabilitas bentuk yang dapat terjadi dalam molekul DNA yang sama. Heterogenitas ini dapat bersifat statis (tetap) atau dinamis (berubah), yang berarti DNA tidak selalu memiliki struktur yang sepenuhnya homogen atau stabil, terutama dalam kondisi larutan. Heterogenitas dinamis ini memungkinkan DNA untuk berubah-ubah bentuk secara lokal, yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan protein atau molekul lain dalam sel. Artikel ini juga membahas berbagai faktor yang memengaruhi stabilitas DNA, termasuk panjang heliks, susunan basa, dan pengaruh lingkungan, yang semuanya dapat berkontribusi pada perubahan bentuk DNA.

Salah satu poin penting yang diangkat dalam artikel ini adalah tentang peran struktur DNA dalam interaksi molekul. Bentuk heliks ganda DNA, terutama bentuk B, telah lama dianggap sebagai media penyimpanan informasi genetik yang stabil dan mudah diakses dalam proses replikasi dan transkripsi. Namun, bentuk-bentuk alternatif seperti bentuk Z membuka wawasan baru tentang bagaimana struktur DNA dapat mengatur aksesibilitas ke daerah tertentu dari urutan genetik, misalnya dengan memengaruhi cara DNA digulung atau dipadatkan dalam kromosom. Dengan memahami bentuk-bentuk DNA yang berbeda ini, ilmuwan bisa lebih memahami cara DNA terlibat dalam ekspresi gen, regulasi, dan interaksi molekul lainnya.

Zimmerman juga mencatat bahwa meskipun bentuk Z DNA memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan bentuk B, keberadaan Z-form di beberapa bagian DNA alami menunjukkan bahwa bentuk ini mungkin memiliki fungsi biologis tertentu, misalnya dalam proses regulasi genetik. Beberapa penelitian yang ia tinjau menunjukkan bahwa bentuk Z mungkin berperan dalam membuka atau mengisolasi bagian-bagian tertentu dari DNA, sehingga membantu mengatur aktivitas gen atau menanggapi perubahan lingkungan sel. Penemuan-penemuan ini memicu ketertarikan lebih lanjut terhadap peran bentuk Z DNA dalam biologi molekuler.

Selain membahas struktur DNA itu sendiri, Zimmerman juga menyentuh tentang interaksi DNA dengan protein dan zat kimia lain, yang dapat memengaruhi stabilitas dan konformasi heliks. Misalnya, beberapa zat kimia dapat mempromosikan pembentukan bentuk Z dengan menstabilkan interaksi antar basa tertentu. Artikel ini menggambarkan bahwa perubahan struktur tidak hanya terjadi secara alami, tetapi juga dapat dipicu oleh faktor eksternal seperti zat kimia atau kondisi ionik tertentu, yang menyoroti dinamika molekul DNA dalam sel.

Di bagian penutup, Zimmerman menyimpulkan bahwa studi tentang struktur tiga dimensi DNA sangat penting untuk memahami bagaimana DNA menjalankan fungsinya dalam skala molekuler. Variasi bentuk dan fleksibilitas konformasi DNA memungkinkan interaksi yang kompleks dengan protein, molekul kecil, dan faktor lingkungan lainnya. Zimmerman menggarisbawahi pentingnya penelitian lanjutan untuk mengeksplorasi dampak bentuk-bentuk DNA ini dalam biologi dan genetika, yang dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang mekanisme pengendalian ekspresi gen dan proses molekuler dalam sel.

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan pandangan mendalam tentang keragaman struktural DNA dan menggarisbawahi pentingnya faktor lingkungan dalam menentukan konformasi DNA. Zimmerman menyimpulkan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang variasi bentuk DNA dapat membawa manfaat besar dalam studi biologi molekuler, terutama dalam penelitian tentang ekspresi gen, interaksi DNA-protein, dan mekanisme pengendalian genetik. Artikel ini menekankan bahwa DNA bukanlah molekul statis, tetapi memiliki fleksibilitas yang signifikan, yang memungkinkan berbagai interaksi dan fungsi biologis yang berbeda, tergantung pada bentuk dan konformasinya.

Monday, April 30, 2018

Mekanisme kerja RNAi



Interferensi RNA (RNAi, dari RNA interference) merupakan salah satu mekanisme pada sel hidup untuk mengendalikan aktivitas gen. Pertama kali ia diketahui sebagai suatu proses untuk mementahkan hasil transkripsi sehingga translasi tidak dapat berlangsung. Dalam RNAi terlibat dua jenis RNA berukuran kecil miRNA dan siRNA yang berperan penting. Kedua RNA berukuran kecil ini dapat berikatan dengan RNA lain (yang komplementer dengan urutan basanya) sehingga mengganggu (meng-interferensi) proses yang melibatkan RNA tersebut, misalnya dengan mencegah terbentuknya protein/enzim. Peran penting interferensi RNA mencakup sistem pertahanan terhadap informasi genetik asing (dari virus dan transposon), mengatur proses perkembangan, dan dalam sejumlah aspek ekspresi gen lainnya.
Studi awal menunjukkan bahwa siRNA merupakan dupleks 21-26 nukleotida RNA dengan 2-nukleotida 3’ yang menggantung dan 5’ fosfat dan 3’ hidroksi sebagai terminal. 21-22 nt terlibat dalam degradasi mRNA dan memiliki ukuran yang lebih panjang, 24-26 nt mengarahkan metilasi DNA dan penghentian sistemik. Sebuah komponen RISC, domain PAZ dari Argonaute, memfasilitasi pengenalan siRNA dengan untai tunggal 3’ yang menggantung dengan bantuan enzim Dicer. Telah dikemukakan bahwa dupleks bergabung di prekursor RISC dan kemudian siRNA yang melepaskan ATP-dependent mengubah prekursor RISC menjadi RISC aktif. Rasio RISC mengandung untai antisense atau sense dari RNA yang ditentukan dengan kestabilan termodinamika dari pasangan basa 5’ terminal dari dupleks siRNA. Basa-basa di dekat ujung 5’ menyumbangkan energi pada pelekatan RNA, sedangkan pasangan basa yang dibentuk oleh pusat dan daerah 3’ dari siRNA menyediakan geometri berbentuk spiral yang dibutuhkan untuk katalisis. Domain PIWI pada Argonaute di RISC mempunyai kemiripan dengan ribonuklease H dengan sebuah motif aspartat-aspartat-glutamat yang dilindungi. Fosfat di antara nukleotida 11 dan 12 dari ujung 5’ mRNA jatuh mendekati pusat pembelahan RISC yang aktif.
miRNA yang matang merupakan endogen 22 nt RNA yang penting untuk mengarahkan mRNA dalam pembelahan atau represi translasi pada hewan dan tumbuhan. Molekul RNA yang pendek ini dihasilkan di sitoplasma Rnase III Dicer dari pre-miRNA yang berbentuk jepit rambut yang diproses oleh nuklir Rnase III Drosha. Residu 2-8 dari miRNA yang pertama berpasangan tepat dengan elemen daerah 3’ taktertranslasi  (UTR) dari RNA target. Endogen dari si RNA dan miRNA mempunyai kemiripan sehingga dua kelas dari RNA ini tidak dapat dibedakan dari komposisi kimia atau mekanisme kerjanya. Pada mamalia, siRNA dapat berfungsi seperti miRNA melalui represi ekspresi mRNA target dengan komplementer sebagian sampai kelipatan dari 3’ UTR. Daerah 5’ dari siRNA dan miRNA semuanya memainkan peran analogi dalam pengenalan target dan penggabungan RISC ke target RNA. Akan tetapi, perbedaan asal keduanya, perlindungan evolusioner, dan tipe gen yang dihentikan oleh keduanya telah diuraikan dengan jelas.
Pembentukan siRNA dimulai disitoplasma yang membelah menjadi dsRNA yang panjang oleh Dicer (multidomain enzim dari family RNase III). Sedangkan pembentukan miRNA dimulai di nucleus dimana secara endogenous dikode primer transkripsi awal miRNA (pre-miRNA) yang kemudian ditransport ke sitoplasma dan dipecah oleh Dicer. Pada tahap efektor, siRNA atau miRNA akan dirakit menjadi RNA-inducing silencing complexes (RICS). Aktivasi RICS mengandung satu single-standed (antisense) siRNA atau miRNA, yang memacu RISC ke mRNA target yang komplemen dengannya dan menginduksi pembelahan pada sisi spesifik pada mRNA. Sedangkan miRNA tidak menyebabkan degradasi pada gene komplemennya namun menyebabkan translation repression. Namun baik siRNA mauapun miRNA menghambat sintesis protein (Tang, 2005; Aiger, 2007; Lu dan Woodle, 2008)


Strategi untuk aplikasi RNAi
Terdapat beberapa cara untuk  aplikasi RNAi yaitu (1) tranfeksi RNAi ke sel,  dan RNAi yang ditranfeksi diharapkan akan menjadi RISC yang dapat mendegradasi mRNA target, (2)  melalui vektor plasmid,  pada nukleus diharapkan terjadi trankripsi shRNA atau pre-miRNA dan akan diproses dan diekpor ke sitoplasma menjadi RISC, (3) dengan vektor viral  DNA (Davidson dan Paulson, 2004). 

Dalam sistem aplikasi RNAi baik melalui siRNA maupun miRNA terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan yaitu dari ukuran RNAi, ukuran vektor, vektor yang digunakan, cara aplikasi, sistem proteksi agar siRNA yang dibawa tidak di degradasi, eliminasi, distribusi yang tidak spesifik, serta internalisasi (David et al., 2010).


Daftar Pustaka Tambahan
Aigner A. 2007. Applications Of Rna Interference: Current State And Prospects For Sirna-Based Strategies In Vivo. Appl Microbiol Biotechnol, 76:9–21.
Davidson, B.L., dan Paulson, H.L., 2004.  Molecular Medicine For The Brain: Silencing Of Disease Genes With Rna Interference. Lancet Neurol , 3: 145–149
David, S.,  Pitard, B.,  BenoĆ®t, J-P.,  Passirani, C.,  2010. Non-Viral Nanosystems For Systemic Sirna Delivery. Pharmacological Research. 62: 100–114
Lee, S-K., Dan Kumar, P., 2009. Conditional Rnai: Towards A Silent Gene Therapy.  Advanced Drug Delivery Reviews.  61:650–664
Love, T.M., Moffett, H.F., Dan Novine, C.D., 2008. Not Mir-Ly Small Rnas: Big Potential For Micrornas In Therapy.  J Allergy Clin Immunol. 121( 2 ): 309-319
Lu, PY., dan  Woodle, MC., 2008. Delivering Small Interfering Rna For Novel Therapeutics. Methods Mol Biol. 437:93–107.
Pekarik, V, 2005. Design Of Shrnas For Rnai—A Lesson From Pre-Mirna Processing: Possible Clinical Applications. Brain Research Bulletin 68:115–120
Tang G. Sirna dan  Mirna, 2005, An Insight Into RICSs. Trends Biochem Sci. 30:106–14.

Monday, June 3, 2013

Makalah Biokim Nutrisi Kimchi

MAKALAH
BIOKIMIA NUTRISI

MAKANAN FERMENTASI KIMCHI,
SEDERHANA NAMUN KAYA MANFAAT



Description: Description: UNS 
                                                           








Disusun Oleh:
Dinar Larasati                                      (M0410019)
Irma Khoirunnisa                                 (M0410034)
Resha Gracika S.                                 (M0410052)
Tutut Bararatut J.                                (M0410062)
Wardha Ayu A.                                   (M0410065)



JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fermentasi telah lama digunakan dalam pengolahan bahan makanan secara tradisional, dan merupakan salah satu cara pemrosesan dan bentuk pengawetan makanan tertua. Fermentasi merupakan cara untuk memproduksi berbagai produk yang menggunakan mikroba melalui aktivitas metabolisme. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan akibat pemecahan kandungan bahan pangan tersebut, sehingga memungkinkan makanan lebih bergizi, lebih mudah dicerna, lebih aman, dapat memberikan rasa yang lebih baik dan memberikan tekstur tertentu pada produk pangan. Fermentasi juga merupakan suatu cara yang efektif dengan biaya rendah untuk mengawetkan, menjaga kualitas dan keamanan makanan (Dwidjoseputro, 1994).
Produk fermentasi diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi suatu bahan pangan, relatif lebih efisien karena hanya menggunakan energi rendah dapat menghasilkan makanan yang lebih awet. Saat ini, proses fermentasi sudah berkembang sangat pesat. Pada awalnya terjadi tanpa kendali sepenuhnya. Adanya pengalaman dan berkembangnya berbagai penelitian yang berhubungan dengan mikrobiologi pangan, seperti anggur, asam cuka, keju, bir, yoghurt, tape, tempe, asinan, dan tauco, menjadikan produk fermentasi lebih terkendali proses pengolahannya, aman dikonsumsi dan disukai oleh masyarakat. Keberadaan mikroorganisme dan enzim-enzim yang dihasilkan merupakan penyebab utama perubahan-perubahan biokimia dan kimia selama proses fermentasi. Jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses tersebut tergantung pada aktivitas air, pH, suhu, komposisi bahan dasarnya, ketersedian O2, komponen anti mikroba dan adanya zat-zat yang bersifat pendukung lainnya (Betty dan Laksmi,1978).
Sifat sayuran diantaranya adalah cepat layu dan busuk akibat kurang cermatnya penanganan lepas panen. Untuk memperpanjang masa simpannya dapat dilakukan dengan berbagai pengolahan, misalnya acar, sauerkraut, sayuran asin, kerupuk, dan lain-lain. Tujuan pengolahan sayur ini untuk memperpanjang daya simpan sayuran yang mudah busuk dan rusak (Bhratara, 1986).
Salah satu produk makanan hasil proses fermentasi adalah Kimchi, yang merupakan makanan tradisional Korea berupa suatu jenis asinan sayur hasil fermentasi yang diberi bumbu pedas. Setelah digarami dan dicuci, sayuran dicampur dengan bumbu yang dibuat dari udang krill, kecap ikan, bawang putih, jahe dan bubuk cabai merah. Sayuran yang paling umum dibuat kimchi adalah sawi putih dan lobak. Di zaman dulu, kimchi diucapkan sebagai chim-chae yang berarti sayuran yang direndam. Di Korea, kimchi selalu dihidangkan di waktu makan sebagai salah satu jenis banchan yang paling umum. Kimchi juga digunakan sebagai bumbu sewaktu memasak sup kimchi (kimchi jjigae), nasi goreng kimchi (kimchi bokkeumbap), dan berbagai masakan lain( Jung et.al, 2005).
Kimchi dibuat dari beraneka ragam bahan sesuai dengan jenis kimchi dan selera orang yang membuatnya. Kimchi yang paling dikenal di luar Korea adalah baechu kimchi yang dibuat dari sawi putih dan lobak dicampur bawang putih, cabai merah, ppalgangochu), daun bawang, cumi-cumi, tiram atau makanan laut lain, jahe, garam, dan gula. Kimchi dibuat dari berbagai jenis sayuran sehingga mengandung kadar serat makanan yang tinggi, namun rendah kalori. Sebagian besar kimchi dibuat dari sayuran seperti bawang bombay, bawang putih, dan cabai yang baik untuk kesehatan. Kimchi kaya dengan vitamin A, thiamine (B1), riboflavin (B2), kalsium, zat besi, dan bakteri asam laktat yang baik untuk pencernaan. Pada tahun 2000, strain bakteri asam laktat (strain MT-1077T) penghasil bakteriosin yang diisolasi dari kimchi diberi nama Lactobacillus kimchi.Bakteri laktobasilus yang berperan dalam proses fermentasi kimchi menghasilkan asam laktat dengan kadar yang lebih tinggi daripada yogurt (Myungjin and Jongsik,2005).
Kimchi disebut sebagai salah satu dari lima makanan tersehat di dunia menurut majalah Health Magazine. Kimchi kaya dengan vitamin, membantu pencernaan, dan kemungkinan dapat mencegah kanker. Sayuran yang sudah lama diketahui baik untuk kesehatan, apalagi ditambah kultur bakteri hidup pada kimchi yang lebih banyak dari yogurt. Pemakaian cabai merah dalam jumlah banyak pada kimchi juga sering disebut-sebut baik untuk kesehatan.

MACAM-MACAM BUKTI HUBUNGAN DIET DAN PENYAKIT KRONIS


Bukti utama yang menghubungkan antara diet dengan penyakit kronis secara epidemiologi yaitu penelitian pada hewan yang digunakan untuk menguji hipotesis dan efek spesifik perubahan nutrisi serta menyelidiki mekanisme biologis untuk menjelaskan penemuan epidemiologi. Ketika ada bukti yang substansial, maka akan ada studi intervensi untuk melihat apakah intervensi memiliki efek pada penyakit atau kematian.
1.       Perubahan Sekuler Dalam Diet Dan Timbulnya Penyakit
Bukti pertama dengan mempelajari perubahan penyakit yang muncul dan diet (serta faktor-faktor lainnya) dari waktu ke waktu. Sekarang terjadi transisi gizi di negara berkembang. Terdapat peningkatan ketersediaan makanan, dengan peningkatan pesat konsumsi lemak dan gula serta penurunan konsumsi karbohidrat kompleks, sereal gandum, buah dan sayuran. Pada saat yang sama, aktivitas fisik menurun sebagai akibat dari meningkatnya mekanisme di tempat kerja, meningkatnya transportasi mekanik, dan aktivitas rekreasi rendah. Hal tersebut dapat menjadi faktor dalam perkembangan penyakit jantung koroner. Perubahan ini terjadi lebih dari satu abad atau lebih di Eropa Barat dan Amerika Utara dan sekarang terjadi lebih dari satu dekade di negara berkembang.
2.       Korelasi Internasional Antara Diet Dan Kejadian Penyakit
Penyakit jantung koroner menyebabkan 4,8% kematian di Jepang dan 31,7% kematian di Irlandia Utara. Hal tersebut karena konsumsi lemak jenuh di Irlandia lebih besar daripada di Jepang. Asupan lemak dari makanan adalah faktor signifikan dalam perkembangan obesitas dan  cadangan lemak tinggi pada tubuh. Satu masalah dalam menafsirkan korelasi antara diet dan penyakit adalah bahwa data nasional untuk ketersediaan pangan menyembunyikan perbedaan-perbedaan yang besar antara kemungkinan di perkotaan dan pedesaan. Di India pada tahun 1980 sekitar 17% dari masyarakat miskin pedesaan memiliki sedikit bahkan tidak ada minyak  atau lemak dalam diet mereka, sementara elit perkotaan menerima lebih dari 30% energi dari lemak, 5% dari populasi dikonsumsi 40% dari lemak yang tersedia . Makanan yang tersedia per orang di Sahara Afrika jatuh selama periode 1980-2005, namun penyakit jantung merupakan penyebab meningkatnya angka kematian di kota-kota Afrika.
3.      Studi migrant
Orang-orang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain memberikan kesempatan yang sangat baik untuk mempelajari efek dari faktor makanan dan lingkungan pada penyakit. Kanker payudara dan kanker prostat jarang terjadi di China dan Jepang dibandingkan dengan kejadian ini di Amerika Serikat. Studi orang yang bermigrasi dari Cina dan Jepang ke Hawaii atau San Francisco pada abad kedua puluh menunjukkan bahwa mereka memiliki insiden lebih tinggi dari kedua kanker dibanding kerabat mereka di rumah yang mempertahankan diet tradisional mereka dan gaya hidup. Ada perbedaan yang sama dalam kematian akibat penyakit jantung koroner.
Studi imigran di pertengahan abad kedua puluh dari Polandia (di mana kanker lambung lebih umum dari pada kanker kolorektal) ke Australia (di mana kanker lambung jarang dan kanker kolorektal lebih umum) menunjukkan peningkatan signifikan pada kanker kolorektal. Hal ini menunjukkan bahwa faktor makanan atau lingkungan yang terlibat dalam perkembangan kanker kolorektal dapat bertindak relatif lambat dalam hidup, daripada kanker lambung. Infeksi Helicobacter pylori dengan, yang lebih umum di Polandia daripada di Australia, merupakan faktor terjadinya kanker lambung. Diet tinggi daging asin dan diawetkan terkait dengan insiden yang lebih tinggi kanker lambung, dan diet tinggi lemak dan rendah polisakarida nonstarch berhubungan dengan insiden yang lebih tinggi dari kanker kolorektal. Sebagai kejadian kanker lambung pada populasi berkurang, kejadian kanker kolorektal meningkat.
4.       Studi kasus-kontrol
Cara alternatif mempelajari hubungan antara diet dan penyakit adalah dengan membandingkan orang yang menderita penyakit dengan subyek bebas penyakit yang cocok untuk jenis kelamin, etnis, usia, gaya hidup, dan banyak faktor lain sebanyak mungkin. Masalah yang jelas di sini adalah bahwa studi status gizi saat orang datang dengan penyakit tidak memberikan informasi apapun tentang diet mereka pada saat penyakit itu berkembang. Diet mereka mungkin telah berubah selama bertahun-tahun dan, tentu saja, penyakit dapat mempengaruhi apa yang mereka makan sekarang.
5.       Studi prospektif
Penelitian epidemiologi yang paling berguna melibatkan mengikuti sekelompok orang selama jangka waktu yang panjang, dengan penilaian gizi, kesehatan mereka, dan status lainnya pada awal studi, dan pada interval sesudahnya. Mungkin studi tertua adalah survei nasional Kesehatan dan Pembangunan Inggris, yang telah mengikuti 16.500 anak yang lahir selama satu minggu Maret 1946 kohort lanjut yang terdaftar pada tahun 1970 dan 2000. Studi Framingham telah mengikuti setiap penduduk kota Framingham, Massachusetts, dari tahun 1948, penelitian kesehatan perawat di Amerika Serikat mengikuti beberapa 85.000 perawat. Dalam beberapa studi tersebut, sampel darah dan urin disimpan, dan diet dan catatan lain yang tersedia selama jangka waktu yang panjang, sehingga dimungkinkan untuk mengukur penanda status gizi yang tidak dianggap penting atau relevan pada awal penelitian . The European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC) adalah studi prospektif multicenter lebih dari setengah juta subyek, dengan sampel darah yang tersedia untuk 75%, dan pada tahun 2006 24.000 kasus kanker dicatat. Hasil awal menunjukkan efek perlindungan dari kedua ikan dan polisakarida nonstarch terhadap kanker kolorektal, peningkatan risiko terkait dengan konsumsi daging merah dan olahan, serta asosiasi antara asupan lemak jenuh dan kanker payudara, dan efek perlindungan dari konsumsi buah sehubungan dengan kanker paru-paru.
6.       Studi Intervensi
Langkah berikutnya adalah untuk menguji hipotesis yang telah diperoleh dari studi epidemiologi, yang didukung oleh mekanisme biologis atau kimia yang masuk akal, bahwa suplemen gizi atau perubahan dalam diet akan mengurangi risiko pengembangan penyakit.


Monday, May 27, 2013

Short Chain Fatty Acids (SCFA)


Asam lemak rantai pendek (SCFA) dibentuk ketika polisakarida difermentasi oleh bakteri anaerobik yang terdapat dalam usus besar. Terdapat banyak bentuk polisakarida dalam usus besar, salah satunya pati resisten. SCFA utama yang dihasilkan dalam usus manusia adalah butirat, propionat, dan asetat. Konsentrasi SCFA dalam usus besar bergantung pada jenis polisakarida. Umumnya, asetat adalah asam lemak berantai pendek yang paling banyak dihasilkan sedangkan butirat yang paling rendah. Selain itu, konsentrasi juga dipengaruhi oleh daerah di usus besar. Konsentrasi tertinggi dideteksi pada daerah yang paling dekat dengan usus halus (70-140 mM)
Hubungan Flora dalam Usus Manusia dengan SCFA
Koloni bakteri dalam intestinal manusia memfermentasi “resistant starch” atau pati resisten dan polisakarida non-pati (sebagian besar berupa serat pangan) menjadi SCFA terutama asetat, propionat dan butirat.
Antara mikroflora dalam usus dan SCFA saling berhubungan dan mengalami ketergantungan. Untuk dapat memproduksi SCFA dalam saluran cerna dibutuhka mikroba yang menghasilkan enzim untuk fermentasi pati resisten atau bahan-bahan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia. Sehingga jumlah mikroflora juga dapat mempengaruhi jumlah SCFA. Sedangkan SCFA dapat menyeimbangkan PH dalam usus yang cocok untuk kehidupan mikroflora.
Manfaat SCFA
SCFA yang diserap digunakan untuk pemeliharaan, pertumbuhan, dan aktivitas lipogenesis. Aktivasi SCFA oleh secara enzimatis adalah dengan pembentukan acyl-CoA antara lain acetyl-CoA, propyonil-CoA dan butyril-CoA yang merupakan faktor penting yang mengatur penyerapan SCFA oleh jaringan tubuh. Adanya produksi SCFA dari fermentasi serat pangan menyebabkan “luminal SCFA infusion”, juga peningkatan massa dan proliferasi kolon. SCFA mempengaruhi transport sel epitel koton (usus besar), metabolisme “colonocyte”, pertumbuhan dan diferensiasinya, kontrol hari akan lemak dan karbohidrat, meningkatkan persediaan energi otot, ginjal, otak dan jantung. Selain itu SCFA berperan dalam pengaturan “ulcerative colitis”, “diversion colitis”, serta “in enteral feeding”.
Asam lemak rantai pendek (SCFA) dapat menurunkan pH kolon sehingga mampu menyeimbangkan mikroflora dalam usus. SCFA diserap dalam bentuk asam tidak terdisosiasi (difusi non ionik) atau dalam bentuk garam sodium dan potassium dari SCFA (difusi ionik). SCFA yang diabsorbsi akan digunakan untuk pemeliharaan, pertumbuhan dan lipogenesis.
Asam asetat diabsorbsi dan dimetabolisme di hati, otot, jaringan otak. Asam propionat dimetabolisme di hati serta mampu menurunkan sintesa kolesterol. Butirat menunjukan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan kanker kolorektal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa butirat dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker kolorektal dengan cara menghambat proliferasi sel, serta meningkatkan kemampuan diferensiasi dan apoptosis sel.
Asam Lemak butirat di dalam caecum dan kolon lebih tinggi ketika substrat berupa serat pangan dibanding substrat tanpa serat. Butirat digunakan sebagai sumber energi oleh sel epitel kolon . Selain sebagai sumber energi, butirat mampu mengikat senyawa toksin di kolon sehingga dapat berfungsi sebagai senyawa anti karsinogenik. SCFA menstimulasi aliran darah kolon, fluida dan penyerapan elektrolit. Butirat merupakan substrat yang lebih disukai oleh colonocytes dan menunjukkan peningkatan fenotip normal pada sel.
SCFA memberikan kontribusi pada efek penurunan kolesterol. Kerja SCFA pada metabolisme glukosa hati atau sintesis kolesterol tergantung pada rasio asetat dan propionat di dalam pemburuh darah porta. Asetat dan propionat terlebih dulu mencapai liver, sehingga berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat dan lemak.